mata luka sengkon-karta dan hukum peninjauan kembali (PK) di indonesia

Alwi Yusran
5 min readSep 21, 2019

Akhir-akhir ini penulis sangat menyukai pembacaan puisi dari penyair Peri Sandi Huische. Gimik, mimik dan notasi yang penyair bawakan sangat menarik untuk ditonton. Salah satu puisinya berjudul “Mata Luka Sengkon Karta” dibukukan dan sangat menyimpan kesan. Beberapa kali penulis memutar pembacaan itu di YouTube ,berandai dengan penuhi asumsi arti dari bait-bait lirik yang dibaca, sampai suatu saat penulis menyadari ada ruang sejarah yang sangat besar di dalam huruf-huruf kecil itu.

Untuk memulai tulisan, penulis mencoba menghadirkan beberapa bait dari puisi “Mata Luka Sengkon Karta”

Terengah-Engah dalam Tabung dan Selang

aku seorang petani bojongsari

menghidupi mimpi

dari padi yang ditanam sendiri

kesederhanaan panutan hidup

dapat untung

dilipat dan ditabung

Sengkon-Karta

buku mata luka sengkon karta

Apakah itu sengkon-karta? Awalnya penulis mengira nama ini adalah sebuah istilah jawa yang entah artinya apa. Setelah ditelusuri , Sengkon-Karta ternyata bukan satu kesatuan nama, melainkan nama dari dua orang, Sengkon dan Karta.

Sengkon dan Karta adalah dua orang petani yang berdomisili di Desa Bojongsari, Bekasi. Mereka memiliki hidup layaknya petani, sederhana, biasa saja, menambah benih, kemarau, hujan, sampai sawah menguning, merasa untung walau sedikit-sedikit, tapi kadang banyak pula letih.

Setidaknya biasa saja, sampai suatu saat pasangan suami istri Sulaiman (penjaga warung kecil) dan Siti Haya dibunuh dan dirampok pada tahun 1974 di desa yang sama dengan Sengkon-Karta, Bojongsari. Sengkon dan Karta tertuduh atas peristiwa itu. Nama Sengkon menjadi pihak yang tertuduh karena menurut telaah dan pencarian penulis, sesaat sebelum Sulaiman wafat, dia membisikkan nama Sengkon kepada orang yang membawanya ke rumah sakit. Bersamapula nama Karta yang dituduh kemudian. Dan disinilah bagaimana cerita berawal.

Penolakan menandatangani berita acara pemeriksaan dilakukan Sengkon-Karta, karena mereka tidak merasa melakukan suatu apa dan merasa tidak bersalah sama sekali. Namun, siksaan dari penyidik dan polisi begitu kejam , sehingga mereka berdua mau tak mau dan secara terpaksa meneken BAP.

Oktober 1997 akhirnya menjadi awal yang kelam bagi mereka. Mereka akhirnya mendekap di penjara. Setelah sebelumnya di pengadilan, hakim lebih mendengar dakwaan jaksa dibandingkan kesaksian mereka beruda. Dua belas tahun untuk Sengkon dan tujuh tahun untuk Karta.

Dalam dinginnya dekapan penjara lah kebenaran itu terungkap, Sengkon-Karta bertemu dengan Genul, salah satu keponakan Sengkon. Dia telah mendekap di penjara terlebih dahulu karena melakukan pencurian. Dan Genul adalah kunci dari semua ini, dia mengaku dengan kejujuran yang besar kepada Sengkon-Karta bahwa sebenarnya dialah yang membunuh pasangan suami istri yang kasusnya dituduhkan kepada mereka berdua.

Penulis seakan mengalami kilas balik pada momen ini, sangat kental dengan salah satu film jempolan, Shawshank Redemption, pemuncak di top 250 IMDB, barangkali selamanya. Plotnya hampir sama, sama-sama tertuduh, sama-sama dalam kasus pembunuhan. Mungkin bedanya Andy (tokoh utama protagonis) adalah bankir, sedangkan Sengkon-Karta adalah petani. Jika mendengar kasus ini entah mengapa penulis selalu teringat dengan sosok Andy Dufrense (diperankan Tim Robbins),tapi nampaknya Senkon ataupun Karta tidak semuda itu, mungkin akan lebih mirip Ellis Boyd (Morgan Freeman).

Mmm, penulis mencoba kembali ke persoalan di Bekasi ini. Setalah sekian lama masalah ini berlarut, akhirnya pengakuan Genul dijadikan sebagai bukti baru, hadiah 12 tahun penjara atas kejujuran itu. Mungkin para pembaca berfikir, masalah ini akan menjadi akhir bagi Sengkon-Karta. Ternyata dinginnya jeruji memang sedang berkasmaran dengan Sengkon-Karta, kejujuran Genul tak berarti apa-apa karena Sengkon-Karta tidak mengajukan banding dan telah berkekuatan hukum tetap.

Hukum Peninjauan Kembali

kasus munir dan Peninjauan Kembali (PK) sumber:tirto.id

Albert Hasibuan, seorang pengacara dan anggota dewan yang tergerak hatinya mencoba memperjuangkan kasus ini dan pada akhirnya buah dipetik. Januari 1981, Oemar Seno Adji, Ketua Mahkamah Agung saat itu, memutuskan untuk membebaskan mereka melalui jalur Peninjauan Kembali, pertama kalinya digunakan untuk diakui.

Peninjauan kembali atau disingkat PK adalah suatu upaya hukum yang dapat ditempuh oleh terpidana (orang yang dikenai hukuman) dalam suatu kasus hukum terhadap suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam sistem peradilan di Indonesia.”

“Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab XVIII UU Nomor 8 Tahun 1981, peninjauan kembali merupakan salah satu upaya hukum luar biasa dalam sistem peradilan di Indonesia.

Upaya hukum luar biasa merupakan pengecualian dari upaya hukum biasa yaitu persidangan di Pengadilan Negeri, sidang banding pada Pengadilan Tinggi, dan kasasi di Mahkamah Agung. Dalam upaya hukum biasa, kasasi Mahkamah Agung merupakan upaya terakhir yang dapat ditempuh untuk mendapatkan keadilan bagi para pihak yang terlibat dalam suatu perkara.”

Alasan pengajuan PK dapat disebabkan karena suatu kedaan baru yaitu ketika ditemukan vonum (bukti baru) yang belum pernah dihadirkan dalam persidangan atau adanya kekeliruan hakim, terkadang hal ini dapat berupa kekeliruan putusan baik berupa pasal atau pertimbangan hukum.

Kasus Pollycarpus (terpidana pembunuhan aktivis HAM, Munir) dan kasus Sudijono Timan, direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) terpidanan kasus korupsi 369 miliar, adalah contoh kasus besar yang menggunakan Peninjuan Kembali (PK) walaupun tentunya kedua kasus ini termasuk yang paling kontroversial terhadap sistem PK itu sendiri.

Akhir dari sebuah keadilan

Maka, ingatlah pepatah “kisah tak akan pernah berakhir” dan begitupula Sengkon-Karta. Kisah pahit mereka tampak tidak berakhir sama sekali setelah pelaku divonis.

Keluarga Karta berantakan sejak mereka ia dipenjara, rumah dan tanah ludes karena membiayai perkara ini, Sengkon bisa jadi lebih tragis, ia keluar dari penjara dengan keadaan mengidap TBC (foto di awal tulisan ini adalah Sengkon dan penyakitnya) dan tanah yang ia punya ludes dijual oleh istrinya untuk membiayai hidup. Tentu saja sebagai penuntut keadilan, mereka menuntuk kerugian, namun Mahkamah Agung menolak karena tidak pernah mengajukan permohonan kasasi.

Dan yang paling berkehendak adalah Tuhan. Tak lama kemudian, Karta wafat akibat kecelakaan .Sengkon nampaknya tak bisa melawan penyakit ini lebih lama, sampai pada akhirnya ia wafat karenanya, tak lama setalah Karta wafat. Kedua petani yang tak bersalah ini. Para korban kecelakaan hukum ini, mungkin masih mencari pedang keadilan.

Dan begitulah Peninjauan Kembali di Indonesia, beberapa pertentangan sempat terjadi beberapa tahun sebelum ini. Para penurus semangat Sengkon-Karta. Sebagai contoh, Antasari Azhar, mantan Ketua KPK, yang mengajukan banding kepada Mahkamah Konstitusi (MK) perihal PK yang diatur dan hanya bisa diajukan sekali. Pada Akhirnya, MK mengabulkan hal tersebut dan menyampaikan negara tak boleh membatasi hak konstitusional warga untuk mendapatkan keadilan.

Para korban kecelakaan hukum itu mungkin bisa sedikit tersenyum. Salam hormat kami untukmu Pak Sengkon, Pak Karta.

Sebelum dan untuk mengakhiri tulisan ini, penulis kembali menghadirkan bait-bait puisi Peri Sandi.

sengkon tersenyum di pipi kiri

wajah karta tegas di pipi kanan

di kuning padi, bawang merah

bawang putih, tomat

gurame, bawal, cucut, tongkol

di petani di nelayan

di buku-buku sekolah

dan kelam ingatan.

Bandung/9 September 2019/di dalam gelapnya hati dan terangnya ingatan

--

--